Peristiwa 10 November
Pertempuran Surabaya
|
|||||||
Tentara India Britania menembaki penembak runduk Indonesia di balik tank Indonesia yang terguling dalam pertempuran di Surabaya, November 1945. |
|||||||
|
|||||||
Pihak yang terlibat
|
|||||||
Komandan
|
|||||||
Kekuatan
|
|||||||
20,000 tentara
100,000 sukarelawan[1] |
|||||||
Korban
|
|||||||
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara
pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada
tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang
pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan
satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi
Nasional Indonesia yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. [2]
Kronologi penyebaKedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat
di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian
tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut,
Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia
Tiga tahun kemudian,
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat)
di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan
kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara
Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak
Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara
Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya
pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia
tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok
Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para
tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke
negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri
jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara
Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan
memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato,
Tunjungan, Surabaya
Hotel
Oranye di Surabaya tahun 1911.
Setelah munculnya
maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945bendera nasional Sang
Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di
Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial,
sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Sekelompok orang Belanda
di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada
sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru),
tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas
Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya
melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.
Pengibaran
bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di
hotel Yamato
Tak lama setelah
mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dandiplomat yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui
pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai
Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu
masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia
berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera
Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini
Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui
kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara
Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang
semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan
tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagianbirunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali
sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel
Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan
kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak
memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum
akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir
Jenderal Mallaby
Brigadir
Jenderal Aubertin Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia
dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap
saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris
di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar
pukul 20.30. Mobil Buick yang
ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia
ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang
pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric
Carden Robert Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk
meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan
pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak
penyebab baku tembak
Mobil Buick Brigadir
Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio danJembatan Merah Surabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh
Inggris (Labour
Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan diParlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia
menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena
kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku
tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena
mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom
Driberg:
"...
Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi
lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu
tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa
(Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan
lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu
India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam
kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada
titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi.
Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari
untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas
bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi,
perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal.
Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas
dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai
pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata,
yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat
itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "
10 NOVEMBER 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut
kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah
membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak
oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah
berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan
negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk
masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi,
tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan
pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal
perang.
Inggris kemudian
membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota,
dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran
ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan
tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner
Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang
terlibat dalam Revolusi
Nasional Indonesia mewakili
jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak
Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo
tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar
di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya
sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang
terdiri dari kalangan ulama serta
kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullahserta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan
tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak
Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai
waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di
tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 -
16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi
dari Surabaya. [2].
Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. [3] Pertempuran berdarah di
Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan
rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban
pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar